Etiket
Nasib Seorang Ketua Kelas
Beberapa
waktu yang lalu, nama baikku tercoreng karena ulahku sendiri. Betapa tidak,
menjadi ketua kelas harus bisa baca situasi, terlebih dalam hal yang diharuskan
untuk memutuskan, dan terkadang seperti buah simalakama. Jadi waktu itu ada
salah satu dosen mata kuliah etika menginginkan jam malam, lalu teman-teman
kelas menyanggupi. Karena untuk pertama kalinya kuliah malam setelah sebelumnya
jam kosong, maka mulai mendapat masukan dari teman-teman untuk kuliah dengan
baju bebas (tanpa seragam resmi). Walaupun saya tahu ini menyalahi aturan,
tetapi barangkali teman-teman kelas pernah ada yang melihat kelas sebelah
memakai baju bebas saat kuliah malam, saya pribadi belum kecuali melihat
mahasiswa lain kerja kelompok. Teman-teman menanyakan keputusan saya, awalnya
saya menyarankan menggunakan pakaian resmi yang sesuai aturan saja, tetapi protes
sanggahan mulai bermunculan untuk memakai baju bebas saja. Biar bagaimanapun,
suara saya yang sendiri tidaklah kuat jika dilawan dengan suara teman-teman. Siapalah
saya ini jika sok berkuasa, terlebih jabatan saya hanya ketua
kelas (baca: pesuruh). Akhirnya, saya yang seorang yang tidak mau memiliki
musuh pendebat mengikuti kemauan teman-teman tanpa memikirkan konsekuensi yang
akan saya terima. Setelah saya menimbang-nimbang, bagaimana kalau ditanyakan
dulu ke dosen yang bersangkutan, tidak ada salahnya untuk bertanya. Dosen yang
bersangkutan menjawab, ”pakailah yang sesuai aturan BDK” dan saya menyesal
telah menanyakan hal bodoh tersebut. Setelah itu ada teman yang bilang bahwa
kelas lain tidak pernah memakai baju bebas jika kuliah dengan dosen yang
bersangkutan. Dengan merasa terbebani, dengan tegas saya-memutuskan-bahwa
hari itu tidak ada yang mencoba-coba memakai pakaian selain pakaian resmi yang
telah ditentukan.
Setelah pertanyaan mengenai pakaian tersebut dilontarkan ke dosen, aku menjadi seperti orang yang tidak mempunyai pendirian, tidak profesional sama sekali. Biarlah ini menjadi pelajaran berharga untukku, bahwa pentingnya menjaga aturan dapat meningkatkan etiket kita dalam urusan yang formal. Kebanyakan orang Indonesia mengabaikan hal yang ‘formal’ dengan menggantinya menjadi ‘formalitas’, inilah yang membuat bangsa kita lama majunya. Mengikuti tren boleh saja, tetapi jangan menjadikan suatu kemunduran untuk diri sendiri. Menjadi orang yang fleksibel bukan berarti tidak memiliki aturan, tetapi dapat berubah saat memasuki kotak-kotak sosial yang telah dibuat oleh masyarakat. Etiket erat kaitannya dengan etika, karena etiket adalah kesopanan yang digunakan untuk mencari korelasi. Orang yang memiliki etiket pasti disukai orang. Etiket lebih banyak muncul dari otak. Dalam ber-etiket harus dipadukan dengan etika, ‘pun sebaliknya. Jika keduanya tidak terjalin sinergi, tidaklah lebih dari ‘kosong’. Maka dari itu, seorang koruptor terlihat baik dan terpelajar dari luar sehingga masyarakat tidak yakin dengan apa yang dilakukannya. Karena koruptor menutupi dirinya dengan etiket yang baik melalui cara kerja otaknya untuk membuat kepercayaan dari orang lain, tetapi tidak memiliki rasa malu karena tidak terdapat etika di dalam hatinya. Seperti yang telah saya jelaskan dalam posting sebelumnya bahwa etika muncul dari dalam hati, dan berhubungan erat dengan kultur, lingkungan dan agama. Jadi perlu ditelusuri ketiga unsur yang melatarbelakangi etika tersebut. Jika kultur dan agamanya baik, maka ada yang salah dengan lingkungannya, mungkin saja dalam ‘arena’ tersebut sudah biasa terjadi hal demikian. Naudzubillahi mindzaalik.
Setelah pertanyaan mengenai pakaian tersebut dilontarkan ke dosen, aku menjadi seperti orang yang tidak mempunyai pendirian, tidak profesional sama sekali. Biarlah ini menjadi pelajaran berharga untukku, bahwa pentingnya menjaga aturan dapat meningkatkan etiket kita dalam urusan yang formal. Kebanyakan orang Indonesia mengabaikan hal yang ‘formal’ dengan menggantinya menjadi ‘formalitas’, inilah yang membuat bangsa kita lama majunya. Mengikuti tren boleh saja, tetapi jangan menjadikan suatu kemunduran untuk diri sendiri. Menjadi orang yang fleksibel bukan berarti tidak memiliki aturan, tetapi dapat berubah saat memasuki kotak-kotak sosial yang telah dibuat oleh masyarakat. Etiket erat kaitannya dengan etika, karena etiket adalah kesopanan yang digunakan untuk mencari korelasi. Orang yang memiliki etiket pasti disukai orang. Etiket lebih banyak muncul dari otak. Dalam ber-etiket harus dipadukan dengan etika, ‘pun sebaliknya. Jika keduanya tidak terjalin sinergi, tidaklah lebih dari ‘kosong’. Maka dari itu, seorang koruptor terlihat baik dan terpelajar dari luar sehingga masyarakat tidak yakin dengan apa yang dilakukannya. Karena koruptor menutupi dirinya dengan etiket yang baik melalui cara kerja otaknya untuk membuat kepercayaan dari orang lain, tetapi tidak memiliki rasa malu karena tidak terdapat etika di dalam hatinya. Seperti yang telah saya jelaskan dalam posting sebelumnya bahwa etika muncul dari dalam hati, dan berhubungan erat dengan kultur, lingkungan dan agama. Jadi perlu ditelusuri ketiga unsur yang melatarbelakangi etika tersebut. Jika kultur dan agamanya baik, maka ada yang salah dengan lingkungannya, mungkin saja dalam ‘arena’ tersebut sudah biasa terjadi hal demikian. Naudzubillahi mindzaalik.
Sejadinya tulisan
ini adalah pengalaman pribadi penulis yang sarat pelajaran bagi penulis
sendiri. Sebagai pribadi yang minim pengalaman, apabila ada kata-kata yang
kurang berkenan di hati pembaca, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan
sudilah untuk berkomentar agar penulis tahu di mana letak kesalahan penulis. Mari
kita sama-sama berdoa agar terhindar dari hal yang dapat memalukan diri,
keluarga dan kelompok. Semoga penulis dapat mengajak para pembaca untuk
meningkatkan etiket dan etika dalam kehidupan yang terlalu banyak retorika ini.
Semoga dengan hidup yang lurus dapat membawa kita dalam kebahagiaan di dunia
maupun di akhirat. Aamiin.
Comments
Post a Comment